Malam itu begitu menyenangkan, semua keluarga Rara berkumpul di rumah. Baik nenek Rara, ibu maupun ayah Rara, Kak Cintya dan tentunya Rara juga ada di situ. Mereka semua bercengkrama di teras rumah sambil makan makanan yang ada. Ayah Rara asyik berbincang dengan nenek, sedang Kak Cintya, Kakak Rara sibuk melahap makanan yang ada. Sedang Rara dan ibunya sibuk melakukan hal paling mereka sukai, yaitu menghitung jumlah bintang yang ada di langit.
“Rara, kamu hitung bintang
yang bersinar paling terang di sebelah sana, nanti Ibu kasih hadiah kalau Rara
bisa mendapatkan lebih dari lima bintang yang bersinar paling terang” kata ibu
Rara sambil membelai rambut anak bungsunya.
“Tapi bintang yang bersinar
paling terang di sebelah sana itu cuma ada satu Bu, yang lainnya tidak begitu
terang” sahut Rara.
“Iya Rara sayang, yang di sana
memang cuma ada satu, tapi Rara pasti bisa menemukan lima” kata Ibu sambil
tersenyum.
“Loh? Ibuu?? Yang empatnya di
mana?” tanya Rara sambil merengek.
“Yang empat itu, ada ayah, ada
ibu, ada Kak Cintya dan nenek sayang” kata Ibu yang kemudian lari karna tidak
mau anaknya marah dan mencubit ibu.
Hari ini adalah hari pertama
masuk tahun ajaran baru dan tentunya ini merupakan pertama kalinya Rara masuk
sekolah barunya setelah liburan kemarin. Sama seperti biasanya Rara selalu
berusaha memperhatikan pelajaran,
karena ibunya pernah bilang padanya bahwa setiap kali Rara mendapat peringkat
kelas ibuya pasti memberi hadiah. Dan setiap Rara dan kakaknya sekolah, itu
adalah waktu yang tepat untuk ayah mengantarkan ibu periksa ke dokter, namun
hal ini juga tidak berlaku setiap harinya mungkin hanya seminggu tiga kali.
Sudah sekitar enam bulan
terakhir ini ibu harus bolak-balik ke rumah sakit karena peyakit livernya yag
sudah cukup parah. Namun Cintya dan Rara sama sekali belum mengetahui
tentang masalah ini. Ayah dan ibu takut hal ini hanya akan membuat mereka
sedih. Lagipula Rara masih terlalu kecil untuk dapat menerima kenyataan,bahwa
kemungkinan besar untuk ibu sembuh sangat kecil, begitu juga dengan Cintya, ia
pasti akan kaget. Ayah takut Cintya akan sangat sedih. Pernah pada suatu hari,
Cintya melihat ibu tiba-tiba tak sadarkan diri di saat bercengkrama dengan
Cintya, tapi setelah ibu sadar ia bilang kalau dirinya hanya pusing dan terlalu
lelah. Bahkan ayah pun sudah berulang kali untuk mengingatkan ibu agar segera
memberi tahu kedua anak mereka agar nantinya mereka tidak kaget di kemudian
hari,
“Tapi bu, sampai kapan kita
harus menyembunyikan masalah ini dari anak-anak” tanya ayah pada waktu itu.
“Jangan sampai mereka tau yah,
aku takut nanti mereka hanya akan takut kehilangan aku, mereka masih terlalu
kecil, lagipula Rara masih kelas 1 SD dan Cintya juga masih kelas 3 SD. Apa
mungkin ayah tega?” jawab ibu dengan tetesan air mata yang tanpa disadari telah
mengalir dipipi ibu. Ayah menjadi merasa bersalah, karena harus menanyakan hal
seperti itu pada ibu, apalagi ayah tahu kalau dokter pernah bilang bahwa
penyakit Liver ibu lama-kelamaan akan menyerang organ lain atau komplikasi.
Hari demi hari berlalu,
penyakit ibu semakin parah, bahkan sudah sampai komplikasi. Tapi sampai hari ini
pun Rara masih belum tahu tentang penyakit ibunya. Padahal Cintya sudah
diberitahu oleh ayah beberapa hari yang lalu, tapi semuanya selalu berusaha
untuk menutup-nutupi hal ini dari Rara sampai suatu ketika Rara melihat dengan
matanya sendiri ibunya memuntahkan darah dan semua masih sama, mereka semua
masih menutupi kenyataan ini dari Rara. Sampai di hari yang paling mereka
takuti untuk menghadapinya,
yaitu kematian ibunya, Rara masih belum diberitahu. Pada saat pemakaman pun,
Rara justru disuruh ayahnya untuk bermain dengan kakak sepupunya, Kak Tya, dan
Rara sama sekali tidak curiga dengan kedatangan orang-orang yang berbaju hitam
itu, para pelayat yang datang. Ketika acara pemakaman selesai semua kembali ke
rumah dan ayah menjemput Rara yang sejak tadi bermain dengan Kak Tya.
“Ayah, Ibu di mana, kok di
kamarnya tidak ada?” tanya Rara sesampai di rumah. Nenek yang melihat Rara
menanyakan hal itu pada ayahnya berusaha untuk tidak menangis.
“Rara, cucu kesayangan
nenek... Ibu sedang pergi nak, nanti
Rara akan ketemu Ibu kalau Rara bisa menjadi anak yang baik, penurut, tidak
manja dan yang terpenting rajin sholat” kata nenek.
“Loh? Tapi ibu pergi kemana
nek? Kok tidak izin
sama Rara, ibu kan pernah bilang kalau bepergian itu harus minta izin, kok ibu
tidak minta izin sama Rara?. Apa ibu sudah tidak sayang Rara?”
“Bukannya gitu nak, ibu sangat sayang sama Rara,
makanya ibu tidak minta izin sama Rara, ibu takut ibu sedih karena harus
meninggalkan Rara”
“Jadi ibu pasti kembali kan
nek?.”
Mendengar
Rara bertanya demikian, nenek sangat merasa sedih harus terus-terusan berbohong
kepada cucunya. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk memberi tahu Rara
kalau ibunya memang sudah meninggal dan tak akan pernah kembali, tapi nenek
sendiri sangat takut kalau nantinya Rara tidak kuat dengan semua ini.
“Rara, sebenarnya ibu itu
sudah....” sahut ayah membuyarkan lamunan nenek.
“Ibu sudah.. berjanji, ibu
akan kembali kalau Rara sudah tidak manja lagi nak” potong nenek.
“Sampai kapan ayah dan nenek
akan menyembunyikan semua ini dari Rara? Rara itu juga anak ibu, dia berhak
tahu. Rara,
ibu itu sudah meninggal, dia tidak akan kembali ke sini lagi, ibu sudah tenang
di sana!!.” bentak Cintya yang
ternyata sejak tadi mendengar pembicaraan mereka.
“Cintya!! Kenapa kamu berkata
seperti itu sama adik kamu?!” sahut ayah.
Seketika suasana menjadi hening dan pecah
karena tangisan Rara. Rara berlari sambil memanggil-manggil ibunya, di kamar
ibunya, di dapur, sampai semua ruangan ia datangi tapi sama sekali tak
menemukannya. Ia berhenti di teras rumah, teringat akan perkataan ibunya kalau
setiap malam akan selalu ada bintang yang bersinar dengan terang yang akan
menamani Rara di kala sedih dan sendiri.
Waktu sudah menunjukkan pukul
9 malam tapi Rara belum juga tidur, ia masih duduk di kursi yang terletak
menghadap ke jendela sambil mengamati bintang-bintang yang ada di langit. Tanpa
disadarinya air matanya mengalir dipipinya.
“Rara kok belum tidur nak?” tanya nenek yang tadinya hanya
berniat untuk memastikan cucunya apakah sudah tidur atau belum.
“Hmm?”
“Kok Rara belum tidur? Besok
Rara harus sekolah kan? Besok bangunnya kesiangan loh...”
“Rara tidak mau sekolah, tidak
ada yang mengantarkan Rara, toh tidak ada yang memasakkan Rara untuk bekal ke
sekolah, ibu kan sudah pergi meninggalkan Rara, buat apa Rara sekolah?’
“Looh? Kok ngomongnya gitu,
Rara kan sekolah juga untuk masa depan Rara sendiri, besok kalau Rara sudah
bisa bekerja sendiri pasti ibu senang, ibu yang melihat dari atas sana pasti
akan tersenyum bahagia kalau melihat anaknya rajin bersekolah, lagian kan
ada nenek yang masih kuat naik sepeda
untuk mengantarkan Rara, memasakkan Rara di waktu pagi untuk bekal Rara,
menemani Rara bermain sama Kak Cintya juga, iya kan?” kata nenek sambil
mengusap air mata Rara. Dan Rara hanya tersenyum melihat neneknya yang selalu
menyayanginya.
Hari demi hari berlalu, setiap
hari rasanya seperti tidak ada kebahagiaan di hati Rara, meskipun sekarang ia
sudah berumumr 10 tahun, tapi ia masih belum bisa melupakan kejadian 3 tahun
yang lalu, saat ia harus kehilangan dua orang yang disayanginya secara
berturut-turut. Bagi Rara kematian neneknya adalah kesalahannya, sejak saat itu
Rara berubah menjadi semakin pendiam. Bagaimana tidak, Rara sangat kaget
melihat neneknya tertabrak mobil karena
mengambilkan mainan Rara yang berbentuk bintang yang jatuh di jalan. Saat itu Rara pulang
sekolah dijemput oleh neneknya dengan naik sepeda, saat di tengah jalan mainan
Rara terjatuh di jalan dan nenek menghentikan sepedanya dan mengambil mainan
itu, namun sebuah mobil yang melintas sangat kencang langsung menabrak nenek
karena usianya nenek yang sudah cukup tua, ia tak dapat berlari untuk
menghindar. Nenek memang sempat di bawa ke rumah sakit namun nyawanya tidak
tertolong karena kehilangan darah sangat banyak.
Sepeninggal neneknya, Rara
semakin menjadi pendiam dan sangat merasakan kesepian, ia sering sekali duduk
di teras rumah sendirian dan melihat langit, baik siang maupun malam. Ayah yang
selalu melihatnya menjadi sangat sedih melihat anaknya yang sangat kesepian. Ia
pun berfikir untuk mencarikan ibu baru untuk kedua anaknya, terutama untuk
menemani Rara. Tapi niat ayah ditentang oleh saudara-saudara ayah, semuanya
tidak ada yang setuju, bahkan Tante Rita, adik ibu, mengancam ayah kalau ayah
benar-benar menikah lagi, Tante Rita akan mengadopsi Rara dan Cintya untuk
menjadi anaknya.
“Kak, kalau kamu mau menikah
lagi, Rara dan Cintya justru akan semakin sedih, mereka itu sangat menyayangi
ibunya, kemarin saja waktu kamu mengutarakan niatmu untuk menikah lagi, mereka
langsung menangis dan menolaknya” kata Tante Rita pada ayah yang datang ke
rumah.
“Tapi mereka itu sangat
membutuhkan sesosok ibu dalam kehidupan mereka”
“Ya tapi tidak perlu ibu baru,
aku pun bisa menjaga mereka, mereka itu hanya perlu perhatian yang penuh, kalau
kamu sibuk dengan pekerjaan kamu aku yang akan menggantikan ibu mereka, mereka
akan hidup bersamaku, aku yang akan menggantikanmu merawat dan melindungi mereka”
“Kamu tidak punya hak untuk
itu Rit, mereka anakku, aku bisa memasakkan untuk mereka, mencuci baju mereka,
aku biis”
“Iya aku tahu, tapi kamu itu
tidak pernah punya waktu untuk sekedar bercengkrama dengan mereka, menanyakan
bagaimana perkembangan sekolah mereka.” Kata Tante Rita memotong perkataan
ayah.
Ayah terdiam, merasa bahwa
selama ini dirinya jarang berkumpul
dengan kedua anaknya, untuk sekedar menanyakan
perkembangan anaknya. Ayah sibuk mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari.
Bruuk, Rara menaruh tas
sekolahnya dan merebahkan badannya ke tempat tidur, menatap langit-langit
kamarnya, sambil memikirkan perkataan Kak Cintya mengenai pernikahan ayah dan
permintaan Tante Rita untuk mengadopsi dirinya dan kakaknya. Ia sangat bingung
harus ikut dengan ayahnya hidup bersama dengan ibu barunya atau memilih menjadi
anak Tante Rita. Setelah makan siang dan sholat dhuhur Rara membuka buku
hariannya. Menuliskan semua kebingungannya, semenjak kematian ibu dan neneknya
Kak Cintya memang membelikan Rara buku harian untuk sekedar meluapkan perasaan
adiknya tersebut. Rara menuliskan semua isi hatinya, semua keluhannya di sana,
termasuk keluhannya atas keputusan ayahnya untuk mencarikan ibu baru, dan ia
sama kakaknya harus memilih suatu keputusan yang sulit, tapi ia tidak mau
berpisah dengan ayahnya.
“Kak, kalau misalnya ayah
benar-benar akan menikah lagi apakah kakak mau untuk hidup bareng Tante Rita?”
tanya Rara pada Cintya.
“Kakak tidak mau melihat ayah
menikah lagi dek tapi.. kakak juga
tidak ingin meninggalkan ayah sendirian”
Malam hari sebelum hari
pernikahan ayah pun tiba, Rara menatap bintang-bintang yang di langit, sambil
menghitung bintang yang bersinar paling terang. Cintya datang menghampirinya
dan juga ikut-ikutan menghitung, mereka berdua terlihat sangat begitu bahagia
meski hati mereka sedih karena harus meninggalkan ayah mereka.
Hari yang cerah, semua
pernikahan berjalan begitu lancar, tanpa ada kesalahan. Seusai acara ayah dan
juga Tante Immas, ibu baru buat Rara dan Cintya pun kembali ke rumah bersama
Rara dan Cintya juga. Mobil Tante Rita pun menyusul di belakang.
“Rara, Cintya, ayo?” ajak
Tante Rita.
“Sebentar tante, ada yang mau
Rara katakan sama ayah. Tapi tante, Rara masih boleh sering ke sini kan?” tanya
Rara.
Tante Rita mengangguk, tanda mengizinkan,
Rara pun memberikan sebuah surat untuk ayahnya, Cintya juga memberikan sebuah
bingkisan untuk ayahnya. Mereka pun segera meninggalkan rumah ayah, ayah
melambaikan tangannya yang diikuti dengan tetesan air mata yang jatuh di
pipinya. Di perjalanan ke rumah Tante Rita, Rara hanya menangis dan membuat
Tante Rita tidak fokus menyetir mobil. Melihat Rara terus menangis, Tante Rita
berulang kali menengok ke belakang untuk memabantu Cintya menenangkan Rara,
namun tanpa disadari oleh Tante Rita, ada sebuah truk yang melaju dengan
kencang dan menubruk mobil Tante Rita. Tidak ada penumpang yang selamat
termasuk Rara dan Cintya. Di rumah, ayah yang masih belum mendengar tentang
kematian kedua anaknya masih membaca surat dari anak bungsunya.
“Ayah, ini Rara. Rara sangat
sayang sama ayah. Setiap hari Rara selalu menunggu ayah pulang dari bekerja,
tapi ketika ayah pulang pasti Rara sudah tertidur. Ayah maafkan Rara, karena
menjadi anak yang manja, Rara selalu mengotori seragam Rara sewaktu di sekolah,
padahal ayah setiap pagi mencucinya untuk Rara. Ayah,, Rara sangat beruntung
punya ayah seperti ayah, meski ayah tidak pernah menanyakan perkembangan
belajar Rara tapi ayah selalu menyayangi Rara. Ayah, Rara dan Kak Cintya akan
selalu mengunjungi ayah. Ayah harus selalu sehat, Rara dan kakak sangat sayang
ayah. Rara”
“Kriiing”
Telepon rumah berbunyi dan ayah mendapat
kabar kalau kedua anaknya dan Tante Rita meninggal ketika dalam perjalanan
karena kecelakaan. Ayah langsung terjatuh dan menangis sambil menggemgam surat
yang di tangannya.
Pemakaman pun berlangsung, semua kerabat datang untuk ikut berbela sungkawa. Setelah semua pelayat kembali, ayah masih berdiri di depan 3 gundukan merah itu. Menaburkan bunga di atasnya dan berdoa untuk kedua anak yang sangat disayanginya juga untuk Tante Rita. Hadiah terakhir dari Cintya dan surat dari Rara akan selalu ayah simpan, serta iringan doa akan selalu ayah kirim untuk ibu, nenek, Rara, Cintya dan Tante Rita.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar