Senin, 14 Oktober 2013

Cerpen


Kasih Sayang Tak Seindah Bintang

            
Malam itu begitu menyenangkan, semua keluarga Rara berkumpul di rumah. Baik nenek Rara, ibu maupun ayah Rara, Kak Cintya dan tentunya Rara juga ada di situ. Mereka semua bercengkrama di teras rumah sambil makan makanan yang ada. Ayah Rara asyik berbincang dengan nenek, sedang Kak Cintya, Kakak Rara sibuk melahap makanan yang ada. Sedang Rara dan ibunya sibuk melakukan hal paling mereka sukai, yaitu menghitung jumlah bintang yang ada di langit.
                  “Rara, kamu hitung bintang yang bersinar paling terang di sebelah sana, nanti Ibu kasih hadiah kalau Rara bisa mendapatkan lebih dari lima bintang yang bersinar paling terang” kata ibu Rara sambil membelai rambut anak bungsunya.
                  “Tapi bintang yang bersinar paling terang di sebelah sana itu cuma ada satu Bu, yang lainnya tidak begitu terang” sahut Rara.
                  “Iya Rara sayang, yang di sana memang cuma ada satu, tapi Rara pasti bisa menemukan lima” kata Ibu sambil tersenyum.
                  “Loh? Ibuu?? Yang empatnya di mana?” tanya Rara sambil merengek.
                  “Yang empat itu, ada ayah, ada ibu, ada Kak Cintya dan nenek sayang” kata Ibu yang kemudian lari karna tidak mau anaknya marah dan mencubit ibu.
@      @
                  Hari ini adalah hari pertama masuk tahun ajaran baru dan tentunya ini merupakan pertama kalinya Rara masuk sekolah barunya setelah liburan kemarin. Sama seperti biasanya Rara selalu berusaha memperhatikan pelajaran, karena ibunya pernah bilang padanya bahwa setiap kali Rara mendapat peringkat kelas ibuya pasti memberi hadiah. Dan setiap Rara dan kakaknya sekolah, itu adalah waktu yang tepat untuk ayah mengantarkan ibu periksa ke dokter, namun hal ini juga tidak berlaku setiap harinya mungkin hanya seminggu tiga kali. Sudah sekitar enam bulan terakhir ini ibu harus bolak-balik ke rumah sakit karena peyakit livernya yag sudah cukup parah. Namun Cintya dan Rara sama sekali belum mengetahui tentang masalah ini. Ayah dan ibu takut hal ini hanya akan membuat mereka sedih. Lagipula Rara masih terlalu kecil untuk dapat menerima kenyataan,bahwa kemungkinan besar untuk ibu sembuh sangat kecil, begitu juga dengan Cintya, ia pasti akan kaget. Ayah takut Cintya akan sangat sedih. Pernah pada suatu hari, Cintya melihat ibu tiba-tiba tak sadarkan diri di saat bercengkrama dengan Cintya, tapi setelah ibu sadar ia bilang kalau dirinya hanya pusing dan terlalu lelah. Bahkan ayah pun sudah berulang kali untuk mengingatkan ibu agar segera memberi tahu kedua anak mereka agar nantinya mereka tidak kaget di kemudian hari,
                  “Tapi bu, sampai kapan kita harus menyembunyikan masalah ini dari anak-anak” tanya ayah pada waktu itu.
                  “Jangan sampai mereka tau yah, aku takut nanti mereka hanya akan takut kehilangan aku, mereka masih terlalu kecil, lagipula Rara masih kelas 1 SD dan Cintya juga masih kelas 3 SD. Apa mungkin ayah tega?” jawab ibu dengan tetesan air mata yang tanpa disadari telah mengalir dipipi ibu. Ayah menjadi merasa bersalah, karena harus menanyakan hal seperti itu pada ibu, apalagi ayah tahu kalau dokter pernah bilang bahwa penyakit Liver ibu lama-kelamaan akan menyerang organ lain atau komplikasi.
@      @
                  Hari demi hari berlalu, penyakit ibu semakin parah, bahkan sudah sampai komplikasi. Tapi sampai hari ini pun Rara masih belum tahu tentang penyakit ibunya. Padahal Cintya sudah diberitahu oleh ayah beberapa hari yang lalu, tapi semuanya selalu berusaha untuk menutup-nutupi hal ini dari Rara sampai suatu ketika Rara melihat dengan matanya sendiri ibunya memuntahkan darah dan semua masih sama, mereka semua masih menutupi kenyataan ini dari Rara. Sampai di hari yang paling mereka takuti untuk menghadapinya, yaitu kematian ibunya, Rara masih belum diberitahu. Pada saat pemakaman pun, Rara justru disuruh ayahnya untuk bermain dengan kakak sepupunya, Kak Tya, dan Rara sama sekali tidak curiga dengan kedatangan orang-orang yang berbaju hitam itu, para pelayat yang datang. Ketika acara pemakaman selesai semua kembali ke rumah dan ayah menjemput Rara yang sejak tadi bermain dengan Kak Tya.
                  “Ayah, Ibu di mana, kok di kamarnya tidak ada?” tanya Rara sesampai di rumah. Nenek yang melihat Rara menanyakan hal itu pada ayahnya berusaha untuk tidak menangis.
                  “Rara, cucu kesayangan nenek... Ibu sedang pergi nak, nanti Rara akan ketemu Ibu kalau Rara bisa menjadi anak yang baik, penurut, tidak manja dan yang terpenting rajin sholat” kata nenek.
                  “Loh? Tapi ibu pergi kemana nek? Kok tidak izin sama Rara, ibu kan pernah bilang kalau bepergian itu harus minta izin, kok ibu tidak minta izin sama Rara?. Apa ibu sudah tidak sayang Rara?”
                  “Bukannya gitu nak, ibu sangat sayang sama Rara, makanya ibu tidak minta izin sama Rara, ibu takut ibu sedih karena harus meninggalkan Rara”
                  “Jadi ibu pasti kembali kan nek?.”
                  Mendengar Rara bertanya demikian, nenek sangat merasa sedih harus terus-terusan berbohong kepada cucunya. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk memberi tahu Rara kalau ibunya memang sudah meninggal dan tak akan pernah kembali, tapi nenek sendiri sangat takut kalau nantinya Rara tidak kuat dengan semua ini.
                  “Rara, sebenarnya ibu itu sudah....” sahut ayah membuyarkan lamunan nenek.
                  “Ibu sudah.. berjanji, ibu akan kembali kalau Rara sudah tidak manja lagi nak” potong nenek.
                  “Sampai kapan ayah dan nenek akan menyembunyikan semua ini dari Rara? Rara itu juga anak ibu, dia berhak tahu. Rara, ibu itu sudah meninggal, dia tidak akan kembali ke sini lagi, ibu sudah tenang di sana!!.” bentak Cintya yang ternyata sejak tadi mendengar pembicaraan mereka.
                  “Cintya!! Kenapa kamu berkata seperti itu sama adik kamu?!” sahut ayah.
      Seketika suasana menjadi hening dan pecah karena tangisan Rara. Rara berlari sambil memanggil-manggil ibunya, di kamar ibunya, di dapur, sampai semua ruangan ia datangi tapi sama sekali tak menemukannya. Ia berhenti di teras rumah, teringat akan perkataan ibunya kalau setiap malam akan selalu ada bintang yang bersinar dengan terang yang akan menamani Rara di kala sedih dan sendiri.
                  Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam tapi Rara belum juga tidur, ia masih duduk di kursi yang terletak menghadap ke jendela sambil mengamati bintang-bintang yang ada di langit. Tanpa disadarinya air matanya mengalir dipipinya.
                  “Rara kok belum tidur nak?” tanya nenek yang tadinya hanya berniat untuk memastikan cucunya apakah sudah tidur atau belum.
                  “Hmm?”
                  “Kok Rara belum tidur? Besok Rara harus sekolah kan? Besok bangunnya kesiangan loh...”
                  “Rara tidak mau sekolah, tidak ada yang mengantarkan Rara, toh tidak ada yang memasakkan Rara untuk bekal ke sekolah, ibu kan sudah pergi meninggalkan Rara, buat apa Rara sekolah?’
                  “Looh? Kok ngomongnya gitu, Rara kan sekolah juga untuk masa depan Rara sendiri, besok kalau Rara sudah bisa bekerja sendiri pasti ibu senang, ibu yang melihat dari atas sana pasti akan tersenyum bahagia kalau melihat anaknya rajin bersekolah, lagian kan ada  nenek yang masih kuat naik sepeda untuk mengantarkan Rara, memasakkan Rara di waktu pagi untuk bekal Rara, menemani Rara bermain sama Kak Cintya juga, iya kan?” kata nenek sambil mengusap air mata Rara. Dan Rara hanya tersenyum melihat neneknya yang selalu menyayanginya.
@      @
                  Hari demi hari berlalu, setiap hari rasanya seperti tidak ada kebahagiaan di hati Rara, meskipun sekarang ia sudah berumumr 10 tahun, tapi ia masih belum bisa melupakan kejadian 3 tahun yang lalu, saat ia harus kehilangan dua orang yang disayanginya secara berturut-turut. Bagi Rara kematian neneknya adalah kesalahannya, sejak saat itu Rara berubah menjadi semakin pendiam. Bagaimana tidak, Rara sangat kaget melihat neneknya tertabrak mobil  karena mengambilkan mainan Rara yang berbentuk bintang yang jatuh di jalan. Saat itu Rara pulang sekolah dijemput oleh neneknya dengan naik sepeda, saat di tengah jalan mainan Rara terjatuh di jalan dan nenek menghentikan sepedanya dan mengambil mainan itu, namun sebuah mobil yang melintas sangat kencang langsung menabrak nenek karena usianya nenek yang sudah cukup tua, ia tak dapat berlari untuk menghindar. Nenek memang sempat di bawa ke rumah sakit namun nyawanya tidak tertolong karena kehilangan darah sangat banyak.
                  Sepeninggal neneknya, Rara semakin menjadi pendiam dan sangat merasakan kesepian, ia sering sekali duduk di teras rumah sendirian dan melihat langit, baik siang maupun malam. Ayah yang selalu melihatnya menjadi sangat sedih melihat anaknya yang sangat kesepian. Ia pun berfikir untuk mencarikan ibu baru untuk kedua anaknya, terutama untuk menemani Rara. Tapi niat ayah ditentang oleh saudara-saudara ayah, semuanya tidak ada yang setuju, bahkan Tante Rita, adik ibu, mengancam ayah kalau ayah benar-benar menikah lagi, Tante Rita akan mengadopsi Rara dan Cintya untuk menjadi anaknya.
                  “Kak, kalau kamu mau menikah lagi, Rara dan Cintya justru akan semakin sedih, mereka itu sangat menyayangi ibunya, kemarin saja waktu kamu mengutarakan niatmu untuk menikah lagi, mereka langsung menangis dan menolaknya” kata Tante Rita pada ayah yang datang ke rumah.
                  “Tapi mereka itu sangat membutuhkan sesosok ibu dalam kehidupan mereka”
                  “Ya tapi tidak perlu ibu baru, aku pun bisa menjaga mereka, mereka itu hanya perlu perhatian yang penuh, kalau kamu sibuk dengan pekerjaan kamu aku yang akan menggantikan ibu mereka, mereka akan hidup bersamaku, aku yang akan menggantikanmu merawat dan melindungi mereka”
                  “Kamu tidak punya hak untuk itu Rit, mereka anakku, aku bisa memasakkan untuk mereka, mencuci baju mereka, aku biis”
                  “Iya aku tahu, tapi kamu itu tidak pernah punya waktu untuk sekedar bercengkrama dengan mereka, menanyakan bagaimana perkembangan sekolah mereka.” Kata Tante Rita memotong perkataan ayah.
                  Ayah terdiam, merasa bahwa selama ini dirinya jarang berkumpul dengan kedua anaknya, untuk sekedar menanyakan perkembangan anaknya. Ayah sibuk mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari.
@      @
                  Bruuk, Rara menaruh tas sekolahnya dan merebahkan badannya ke tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya, sambil memikirkan perkataan Kak Cintya mengenai pernikahan ayah dan permintaan Tante Rita untuk mengadopsi dirinya dan kakaknya. Ia sangat bingung harus ikut dengan ayahnya hidup bersama dengan ibu barunya atau memilih menjadi anak Tante Rita. Setelah makan siang dan sholat dhuhur Rara membuka buku hariannya. Menuliskan semua kebingungannya, semenjak kematian ibu dan neneknya Kak Cintya memang membelikan Rara buku harian untuk sekedar meluapkan perasaan adiknya tersebut. Rara menuliskan semua isi hatinya, semua keluhannya di sana, termasuk keluhannya atas keputusan ayahnya untuk mencarikan ibu baru, dan ia sama kakaknya harus memilih suatu keputusan yang sulit, tapi ia tidak mau berpisah dengan ayahnya.
                  “Kak, kalau misalnya ayah benar-benar akan menikah lagi apakah kakak mau untuk hidup bareng Tante Rita?” tanya Rara pada Cintya.
                  “Kakak tidak mau melihat ayah menikah lagi dek tapi.. kakak juga tidak ingin meninggalkan ayah sendirian”
                  Malam hari sebelum hari pernikahan ayah pun tiba, Rara menatap bintang-bintang yang di langit, sambil menghitung bintang yang bersinar paling terang. Cintya datang menghampirinya dan juga ikut-ikutan menghitung, mereka berdua terlihat sangat begitu bahagia meski hati mereka sedih karena harus meninggalkan ayah mereka.
                  Hari yang cerah, semua pernikahan berjalan begitu lancar, tanpa ada kesalahan. Seusai acara ayah dan juga Tante Immas, ibu baru buat Rara dan Cintya pun kembali ke rumah bersama Rara dan Cintya juga. Mobil Tante Rita pun menyusul di belakang.
                  “Rara, Cintya, ayo?” ajak Tante Rita.
                  “Sebentar tante, ada yang mau Rara katakan sama ayah. Tapi tante, Rara masih boleh sering ke sini kan?” tanya Rara.
      Tante Rita mengangguk, tanda mengizinkan, Rara pun memberikan sebuah surat untuk ayahnya, Cintya juga memberikan sebuah bingkisan untuk ayahnya. Mereka pun segera meninggalkan rumah ayah, ayah melambaikan tangannya yang diikuti dengan tetesan air mata yang jatuh di pipinya. Di perjalanan ke rumah Tante Rita, Rara hanya menangis dan membuat Tante Rita tidak fokus menyetir mobil. Melihat Rara terus menangis, Tante Rita berulang kali menengok ke belakang untuk memabantu Cintya menenangkan Rara, namun tanpa disadari oleh Tante Rita, ada sebuah truk yang melaju dengan kencang dan menubruk mobil Tante Rita. Tidak ada penumpang yang selamat termasuk Rara dan Cintya. Di rumah, ayah yang masih belum mendengar tentang kematian kedua anaknya masih membaca surat dari anak bungsunya.
                  “Ayah, ini Rara. Rara sangat sayang sama ayah. Setiap hari Rara selalu menunggu ayah pulang dari bekerja, tapi ketika ayah pulang pasti Rara sudah tertidur. Ayah maafkan Rara, karena menjadi anak yang manja, Rara selalu mengotori seragam Rara sewaktu di sekolah, padahal ayah setiap pagi mencucinya untuk Rara. Ayah,, Rara sangat beruntung punya ayah seperti ayah, meski ayah tidak pernah menanyakan perkembangan belajar Rara tapi ayah selalu menyayangi Rara. Ayah, Rara dan Kak Cintya akan selalu mengunjungi ayah. Ayah harus selalu sehat, Rara dan kakak sangat sayang ayah. Rara”
                  “Kriiing”
      Telepon rumah berbunyi dan ayah mendapat kabar kalau kedua anaknya dan Tante Rita meninggal ketika dalam perjalanan karena kecelakaan. Ayah langsung terjatuh dan menangis sambil menggemgam surat yang di tangannya.


                  Pemakaman pun berlangsung, semua kerabat datang untuk ikut berbela sungkawa. Setelah semua pelayat kembali, ayah masih berdiri di depan 3 gundukan merah itu. Menaburkan bunga di atasnya dan berdoa untuk kedua anak yang sangat disayanginya juga untuk Tante Rita. Hadiah terakhir dari Cintya dan surat dari Rara akan selalu ayah simpan, serta iringan doa akan selalu ayah kirim untuk ibu, nenek, Rara, Cintya dan Tante Rita.
SELESAI
     






Tidak ada komentar:

Posting Komentar